Bus menghentikan laju di depan pintu masuk perusahaan. Kala itu, gelap telah menelan sebagian besar cakrawala. Syukurlah, pihak perusahaan menolerir keterlambatan kami. Acara berjalan sebagaimana terjadwal. Satu-satunya hal yang memenuhi pikiran saya ketika itu adalah bagaimana perjalanan pulang nantinya? Pukul berapa kami akan tiba nanti?
Jarum pendek mendekati angka tujuh tatkala kami berpamitan dan menyampaikan banyak terima kasih kepada pihak perusahaan atas kemafhuman akan kondisi kami. Layar ponsel berhias estimasi waktu perjalanan dari Google maps kembali menjadi pusat perhatian saya selama perjalanan pulang. Dengan dirundung banyak ketidaktenangan, saya tetap berusaha terlihat tenang dan menenangkan teman-teman panitia lainnya. Begitulah memang seharusnya, menurut saya. Jam digital di ponsel saya tiba di angka 23.02 ketika bus hampir sampai di depan gedung kampus. Hampir tengah malam. Seraya menyiapkan permintaan maaf kepada seluruh peserta, saya menyadari bahwa sekarang ini saya tidak dapat bergantung kepada para senior lagi seperti tahun-tahun sebelumnya. Kini, saya lah yang menjadi tembok bagi teman-teman panitia dan merupakan orang nomor satu yang bertanggung jawab atas segala ketidaklancaran acara. Bergegas saya berjalan menuju tempat duduk paling depan. Sembari meminta pusat perhatian, saya berterima kasih sekaligus meminta maaf atas hal-hal yang telah terjadi di luar kuasa kami pada hari itu. Walaupun saya tahu, permintaan maaf tersebut rasanya tidak banyak berarti bagi para peserta yang terlanjur kecewa, setidaknya saya mengakui dan berusaha menjelaskan. Syukurlah, kami tiba di kampus dengan selamat. Para peserta pulang ke rumah masing-masing, begitupun kami, para panitia.
Menuju akhir tahun, kami kembali mengadakan acara kedua. Sebuah lomba debat yang menargetkan pesertanya kepada para pelajar SMA. Undangan dan proposal telah selesai dibuat dan siap disebar ke seluruh SMA di sekitar Jabotabek, dengan harapan dapat memenuhi kuota peserta sebanyak delapan tim. Namun, apa mau dikata, hanya tersisa waktu seminggu sebelum acara dimulai, kuota peserta tak kunjung terisi barang satu tim pun. Masalah tersebut cukup membuat saya dan teman-teman harus memutar otak untuk mengatasinya. Pilihannya hanya tiga: batalkan, tunda, atau meningkatkan promosi di waktu yang tersisa. Membatalkan acara tentu saja pilihan yang sangat berisiko, selain mencoreng reputasi UKM, tentu saja hal tersebut akan menjadi buah bibir. Pun menunda acara juga merupakan pilihan yang berisiko jika tidak diiringi dengan bertambahnya jumlah tim yang mendaftar. Meningkatkan promosi merupakan pilihan kami pada akhirnya, kerja keras teman-teman panitia tentu harus dihargai dengan berhasilnya acara yang mereka persiapkan. Perlahan namun pasti, usaha kami membuahkan hasil, satu per satu tim mulai mengisi kuota yang tersedia setelah kami menerapkan strategi yang telah disepakati bersama.
Satu minggu berlalu bagai peluru, pada 30 November 2019, acara telah siap dilaksanakan. Matahari yang perlahan meninggi turut mengiringi langkah para kesatria berbaju zirah khas SMA mereka masing-masing.
Satu minggu berlalu bagai peluru, pada 30 November 2019, acara telah siap dilaksanakan. Matahari yang perlahan meninggi turut mengiringi langkah para kesatria berbaju zirah khas SMA mereka masing-masing.
--Bersambung--