Begitulah pendapat sebagian orang, pun aku.
Bagaimana tidak?
Hujan senantiasa menyeka air mata tatkala peluknya mendekap.
Hujan selalu mencoba berulang kali mendekap langit untuk kemudian dijatuhkan lagi ke bumi tanpa pernah merasa lelah.
Hujan pula, yang rela habis demi melihat terbitnya lingkar senyum nona pelangi.
Hujan selalu punya dimensi bagi orang-orang yang tengah depresi.
Membuka ruang imaji bagi para patah hati.
Menjadi ruang hampa tempat membuang nestapa.
Jika kau ditakdirkan lahir sebagai hujan, maka aku akan dengan senang hati menjadi anak kecil yang menari-nari di bawahmu.
Senantiasa menunggu hadirmu.
Bersuka cita kala dihujanimu.
Bersedih ketika usai rintikmu.
Dan tak lupa kembali menunggu datangmu.
Adalah hujan, yang menjebak kita dalam sebuah perbincangan.
Derasnya kala itu, mempertemukan mata kita dalam satu garis lurus.
Udara dingin yang merangkulmu, cemburu dengan hangatnya obrolan kita.
Jujur saja,
Aku harap saat itu hujan takkan berhenti untuk selamanya.
Pun aku berharap dinginnya udara dapat membekukan waktu.
Telingaku ingin lebih banyak dilalui oleh padatnya lalu lintas ceritamu.
Memoriku ingin lebih banyak menyimpan keluh kesahmu.
Juga mataku, ingin berlama-lama bertamu di matamu.
Tatkala rinai hujan telah usai.
Kita berpisah dengan sebuah lambai dan hati yang mengandai-andai.
Tidak.
Bukan kita.
Hanya aku saja.
Tidak.
Bukan kita.
Hanya aku saja.
Semoga kita punya perasaan yang sama.